Sepakbola Membuat Napi di Penjara Paling Angker di Uganda Tetap Waras

rehabilitation-spies-and-goals-607-body-image-1445613847-size_1000

Seiring peluit akhir ditiup dalam pertandingan semi-final antara ‘Liverpool’ dan ‘Chelsea’, jelas sudah siapa pemain terbaik pertandingan tersebut. Dia mencetak hat-trick dengan kaki telanjang. Benon Luyima, 28 tahun, sudah bergabung bersama Liverpool selama delapan tahun dan kontraknya masih tersisa empat tahun.

“Apa kejahatanmu?” tanyaku.

“Pembunuhan,” ujar Benon.

“Saya memergoki istriku dengan lelaki lain dan tidak sengaja memukul dia. Dia meninggal.”

“Tidak sengaja?”

“Maksudnya, saya tidak bermaksud membunuhnya.”

Ini bukanlah sebuah wawancara olahraga pada umumnya, tapi ya memang ini juga bukan pertandingan olahraga pada umumnya. Benon baru saja mengamankan jatah babak final bagi timnya di turnamen sepakbola penjara paling maju di Uganda. Event ini bukan hanya terkenal akibat kualitas sepakbolanya yang tinggi, tapi juga efeknya membuat Uganda negara dengan angka residivisme terendah di satu benua Afrika.

Benon dihukum 12 tahun penjara di Luzira dan mengatakan bahwa sepakbola telah mengajarinya cara mengendalikan emosi. “Ketika saya keluar nanti, saya ingin bisa meminta maaf ke keluarganya dan berharap suatu hari mereka bisa memaafkan saya,” ujarnya. Ketika ditanya apa yang akan dia lakukan apabila situasi tersebut terulang lagi, dia menjawab, “Saya akan pergi saja. Saya tidak mau kembali ke sini.”

Benon adalah salah satu dari 3.000 lelaki dalam penjara keamanan maksimum Uganda. Berlokasi di sebuah bukit di luar ibu kota, Kampala, tembok penjara setinggi 20 meter sangatlah mengintimidasi. Di dalam penjara, para tahanan berpakaian seragam berwarna jingga atau kuning. Ini dulu digunakan untuk membedakan siapa yang sudah dijatuhi hukuman dan siapa yang belum, tapi karena angka tahanan yang menunggu pengadilan melebihi 50 persen, sistem ini kemudian diabaikan.

Masuk ke penjara lebih dalam, semakin tidak terlihat bentuk-bentuk kekuasaan. Tidak ada sipir, jumlah tahanan jauh melebihi mereka. Ternyata semua tahanan harus menyelesaikan tugas agar penjara bisa terus beroperasi. Ada yang membawa kayu dari halaman ke dapur, ada yang menggunakan kapak untuk membelahnya menjadi kayu bakar. Tungku harus terus menyala agar para tahanan bisa memasak. Para tahanan yang lebih tua mengurusi penanaman bayam dan kentang, dan di klinik, para tahanan memberikan obat bagi pasien. Dibandingkan dengan penjara AS dan Inggris, besarnya tingkat tanggung jawab yang diberikan ke tahanan sangat luar biasa. Dan lebih hebat lagi, tidak banyak yang berperilaku agresif.

Kepala penjara, Wilson Magomu, meyakini bahwa menjaga para tahanan sibuk sangat penting untuk kelangsungan penjara yang positif. Dan statistiknya memang mendukung ucapan dia. Dari seluruh tahanan, hanya 30 persen jadi residivis alias masuk ke penjara lagi karena mengulangi kesalahan serupa. Bandingkan dengan Inggris dan AS yang bertengger di angka 46 dan 76 persen. “Di negara-negara tersebut, masyarakatnya cenderung menghukum,” ujar Magomu. “Orang merasa mereka tidak ada hubungan dengan kriminal, tapi alasan mereka di sini adalah untuk direhabilitasi. Apabila seseorang menganggur, mudah sekali bagi mereka untuk terlibat dalam perbuatan negatif.”

Para lelaki ini ditahan atas kejahatan yang serius—tertuduh serangan Kampala Juli 2010 ditahan di sini—dan beberapa lainnya menghadapi hukuman hingga 25 tahun penjara. Untuk alasan inilah, mengalihkan perhatian mereka dari hukuman dirasa perlu. “Mereka sudah dihukum; kami tidak mau menghakimi di sini.” Magomu merasa pendekatan yang liberal adalah yang terbaik. “Hanya ada beberapa sipir di sini; mereka bisa dengan mudah mengalahkan kami.”

Di tengah sistem liberal ini adalah liga sepakbola penjara, berisikan sepuluh tim yang menggunakan nama tim-tim sepakbola terbesar Eropa, di antaranya: Liverpool, Manchester United, Chelsea, Arsenal dan Barcelona. Setiap tim memiliki 20 pemain dan penggemar loyal sendiri-sendiri.

Di hari pertandingan, pelataran penjara diubah menjadi lapangan sepakbola. Marka-marka lapangan digambar menggunakan benang dan tepung putih. Gawangnya dibuat menggunakan tali jemuran dan jala. Seiring kedua tim yang bertanding berganti baju mengenakan seragam olahraga replika masing-masing, kehidupan para tahanan ini seolah berhenti sesaat. Para tahanan lainnya mengerubungi sisi lapangan.

Selama 90 menit, penjara tersebut berubah menjadi sebuah stadium. Para penonton berteriak kencang dan bersorak untuk tim favoritnya. Liverpool bukanlah satu-satunya tim beranggotakan seorang pembunuh. Lawan mereka di final, Manchester United, memiliki striker bintang, Jackson. Dia adalah seorang nelayan yang tidak sengaja membunuh seseorang ketika sedang bertengkar. Dia menunjukkan kami bengkel pertukangannya, tempat dia bekerja, dan menjelaskan bagaimana dia belajar banyak keterampilan baru di sana.

Keterbukaan Jackson, dan hampir semua tahanan lainnya dalam membahas kejahatan mereka membuat interaksi dalam penjara ini menonjol dibanding penjara lainnya yang pernah saya kunjungi. Para sipir mengatakan ini disebabkan oleh rasa hormat. Mereka meyakini biarpun seseorang mungkin sudah membunuh orang lain, bukan berarti mereka selamanya pembunuh. Pengampunan harus memainkan peran dalam pengalaman penjara setiap orang.

 

Sumber Vice  Indonesia

Leave a comment